Penulis: A. Fuadi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2010)
Akhirnya, setelah berbulan-bulan mangkrak di rak, novel Negeri 5 Menara ini berhasil saya selesaikan juga. Agak telat yaaa… baru baca sekarang. :o Novel ini penuh dengan testimoni positif banyak tokoh masyarakat maupun seniman, dan berembel-embel best seller pulak, sehingga akan membuat orang penasaran bagaiman kisah dan cerita yang dituliskan dalam novel ini.
Setelah lulus SMP, Alif Fikri diminta orang tuanya untuk sekolah di Pondok Madani di Jawa Timur. Dengan setengah hati, Alif, yang memendam keinginan untuk melanjutkan sekolah di SMA Negeri di Bukittinggi, berangkat naik bus dengan diantar ayahnya, melewati jalur lintas Sumatera, menyeberang Selat Sunda, dan melanjutkan perjalanan berjam-jam menuju sebuah kota kecil di Jawa Timur, sebelum sampai di Pondok Madani untuk bersekolah dan menuntut ilmu agama.
Di Pondok Madani (PM), Alif bersahabat dengan Raja dari Medan, Atang dari Bandung, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Madura, dan Baso dari Gowa. Mereka berenam bersama-sama melewati hari-hari penuh perjuangan dan pelajaran hidup di PM. Belajar banyak ilmu dan saling menyemangati satu sama lain. Seringkali mereka berkumpul di bawah menara masjid, di sore hari menjelang maghrib, bertukar cerita dan mimpi, membayangkan awan-awan yang berarak indah sebagai benua Eropa, Amerika, jazirah Arab, yang kelak akan mereka jelajahi di masa depan untuk mencari ilmu.
Keenam sahabat yang dijuluki Sahibul Menara ini melewati banyak peristiwa selama bersekolah di PM. Mulai dari menerima hukuman dari penegak disiplin bersama-sama, ikut menangkap pencuri yang menyatroni podok saat ronda malam, menjadi juara turnamen sepakbola antar asrama, kegugupan menjelang ujian, mencetak prestasi bidang akademik, seni, maupun olahraga, hingga mempersiapkan pertunjukan akbar “Class Six Show” menjelang kelulusan.
Novel ini ditulis berdasarkan pengalaman mondok sang penulis, A. Fuadi, di Pondok Gontor, Jawa Timur. Lewat gaya penceritaan secara deskripsi-narasi, pembaca dibawa oleh A. Fuadi masuk ke dalam lingkungan dan suasana pondok pesantren yang bagi kebanyakan orang awam terkadang masih misterius. Negeri 5 Menara juga mengungkapkan bahwa bersekolah di pondok tidak selalu ketinggalan. Metode pembelajaran pondok pesantren tidaklah kolot dan kuno. Hal itu dibuktikan dengan selalu digunakannya bahasa Arab dan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi sehari-hari penghuninya. Dan lulusan pondok pesantren juga bisa sukses, mendapatkan beasiswa sekolah di luar negeri, dan menjadi orang besar. Naahh.. A. Fuadi ini salah satu contohnya.
Negeri 5 Menara mengingatkan kita pada novel sukses Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Sama-sama bertemakan pendidikan, semangat belajar, kerja keras, dan juga guru-guru teladan. Tapi kenapa yaa… susah banget menyelesaikan membacanya?? Hmm.. tema yang bagus dan kisah yang penuh hikmah tentu saja, tapi menurut saya agak sedikit menjemukan. Gaya penceritaan deskripsi-narasi yang monoton dan sedikitnya dialog membuat novel ini, IMO, tak lebih seperti diary sang penulis mengenai pengalaman beliau bersekolah di pondok, yang diharapkan dapat menginspirasi.
Mengekor kesuksesan Laskar Pelangi, sepertinya Negeri 5 Menara ini akan segera diangkat ke layar lebar. Negeri 5 Menara akan hadir dalam bentuk trilogy novel. Sekuelnya, Ranah 3 Warna, bercerita tentang kehidupan Alif pasca lulus dari PM dan melanjutkan kuliah ke ITB – hingga kemudian berkesempatan sekolah di luar negeri. Saya belum mempertimbangkan untuk membeli. Mungkin nanti. Masih bosan soalnya dengan ramuan novel yang seperti ini.
-anna-
1 comment:
hari ini baru liat di tvone kalo ada buku yang hampir mirip-mirip kaya negeri 5 menara dan laskar pelangi. Judulnya 9 autumn 10 summer.
Post a Comment